Hanya satu jalan singkat menuju Taileleo, desa kecil di pesisir pantai barat Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat. Yakni dengan menaiki perahu kecil melalui Terusan Monacchi yang menembus lautan di Muara Siberut. Dahulu, terusan ini berupa sebuah anak sungai kecil yang dikeruk Pastur Italia Monacchi, satu dekade silam. Perahu yang melalui terusan ini kerap kandas jika air laut sedang surut.
Suasana sepi tampak terasa saat memasuki Desa Taileleo. Deretan rumah-rumah tradisional orang Mentawai yang disebut Huma, diam membisu. Sebagian besar huma-huma ini kosong, ditinggalkan penghuninya merantau ke negeri orang. Rumah panggung ini berketinggian satu meter dari tanah, tiangnya kayu bulat, dinding dari kulit kayu, beratap rumbia, dan lantai pelepah sagu, tanpa jendela. Pada umumnya rumah itu berukuran panjang 10 meter, lebar 6 meter dan tinggi sampai bubungan 8 meter.
Tapi di sejumlah sudut Taileleo, masih banyak dijumpai masyarakat asli Mentawai yang tinggal di Huma. Meski tak lagi mengenakan cawat, mereka masih hidup sederhana dalam pranata sosial dan spiritual yang ketat dipimpin para Sikerei atau dukun. Guru besar Antropologi Universitas Leiden, Belanda, Profesor Reimar Schefold mengatakan kebudayaan Mentawai berakar pada zaman awal neolitikum Asia Tenggara. Suku yang tinggal di daerah terpencil ini lebih banyak menampakkan kemiripan dengan penduduk Kepulauan Hawaii atau Kepulauan Polinesia lainnya.
Masyarakat setempat terbiasa memakan sagu, yang diambil dari hutan dan diolah sendiri. Sebagian penduduk yang berjumlah 50 ribu jiwa itu masih tergolong terbelakang dalam tingkat ekonomi hingga pendidikan. Mereka mengusahakan ladang sagu, pisang, kelapa, ikan sungai/laut, beternak ayam dan babi. Kebiasaan berburu ke hutan dengan panah atau jerat tetap berlangsung. Siput mentah dan kepompong menjadi makanan kegemaran mereka. Di satu sudut wilayah, beberapa wanita mencari udang kecil di anak sungai yang keruh, sebagai sajian istimewa dalam makanan sehari-hari mereka.
Saat malam turun, seorang Sikerei tua menyalakan sebuah lampu petromaks untuk menerangi kegelapan. Dia juga menyiapkan sejumlah keperluan untuk upacara tradisionalnya, keesokan hari. Setelah cahaya mentari menyinari huma, Sikerei masuk ke hutan. Dia mencari sejumlah daun dan akar-akaran tertentu yang akan diramu menjadi omay atau racun panah untuk berburu. Campuran ramuan itu sangat khas dan mematikan sehingga tak ada orang Mentawai yang
sanggup membuat penawarnya.
Sekembali dari hutan, seorang Sikerei telah menunggu rekannya untuk membantu pembuatan omay. Akar-akaran itu segera dikuliti untuk diambil patinya dan diperas. Kemudian hasil perasan ini dicampur dengan ramuan dedaunan dan cabai merah. Dengan menggunakan helai-helai bulu ayam, omay dioleskan di ujung-ujung anak panah agar racun tidak mengenai kulitnya. Dengan penuh semangat, sang Sikerei kembali memasuki hutan untuk mencari binatang buruan. Dia membidikkan anak panah beracun berkali-kali. Tapi sayang, semua meleset dari sasaran hingga ia terpaksa kembali dengan hati kecewa.
Gagal dalam perburuan, Sikerei tetap berkegiatan lain: menggambar tato di tubuhnya.
Masyarakat setempat menganggap tato sebagai kebanggaan, dilukis hampir seluruh badan, dari dada, punggung sampai ke kaki. Ramuan tato dibuat dari perasan air sebatang tebu yang dicampur dengan bubuk hitam dari abu kayu perapian. Rajah tato Mentawai kuno dikenal sebagai satu tradisi seni rajah tato tertua di dunia. Sikerei menggunakan alat bantu yang disebut Paniktik.
Selain melambangkan status sosial, rajah tato di tubuh itu juga menandakan prestasi yang telah dicapai dalam hidup. Usai sebuah hari panjang bagi sang Sikerei. Hari esok masih menantinya, kembali pada siklus tradisi hidup yang kian monoton di tengah kumpulan huma yang makin senyap.
Sebagai ketua sebuah organisasi yang mengatasnama masyarakat adat, Urlik terkesan jauh dari sosok seorang Mentawai yang dikenal melalu foto-foto selama ini. Begitu juga dengan 265 peserta kongres, sebagian besar laki-laki, yang datang dari berbagai pelosok kampung di Kepulauan Mentawai.
Urlik dan mereka tak satupun yang memiliki tato penghias tubuh sebagai seorang Mentawai. Padahal tato yang oleh orang Mentawai disebut ‘titi', adalah bagian dari kebudayaan Mentawai yang penting. Setidaknya, ini telah bisa membuktikan bahwa tradisi tato sudah mulai ditinggalkan oleh orang Mentawai.
"Sejak tahun 1950-an, setelah pemerintah mewajibkan penduduk harus memeluk salah satu dari lima agama besar yang diakui pemerintah, orang Mentawai tak lagi menghias tubuhnya dengan tato, kecuali di beberapa kampung pedalaman di Siberut yang masih ada hingga kini," kata Urlik.
Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan adalah tiga pulau di mana orang Mentawai yang berdiam di sana tak lagi menato dirinya sejak 1950-an. Menurut Urlik, di Pulau Sipora yang orang Mentawainya kini sekitar 8.000 jiwa, yang masih memiliki tato tak lebih dari 10 orang. Tiga laki-laki dan selebihnya perempuan. Usia mereka di atas 70 tahun.
Hal yang sama juga terjadi di Pagai. Meski dihuni lebih 11.000 orang Mentawai, yang masih memiliki tato juga tak lebih dari 10 orang. Mereka juga berumur di atas 70 tahun.
"Bisa dipastikan, dalam 20 tahun ke depan tidak akan ada lagi orang Mentawai Sipora dan Pagai yang memiliki tato di tubuhnya," katanya.
Ada beberapa penyebab, menurut Urlik, kenapa tato hilang di Sipora dan Pagai. Pertama, ajaran agama yang melarang kepercayaan Arat Sabulungan, kepercayaan kepada roh-roh, dan menganggap tato bagian dari kepercayaan itu.
Kedua, upacara membuat tato diawali dengan rangkaian upacara lain yang lama (paling cepat enam bulan) dan banyak pantangan (larangan). Upacara ini disebut ‘punen'. Karena itu banyak orang Mentawai yang tidak ingin menjalankannya karena sangat berat.
Ketiga, ada rasa malu bagi orang Mentawai, terutama yang bersekolah ke luar daerah untuk menato dirinya, karena dianggap orang lain sebagai lambang keterbelakangan dan primitif. Kelompok orang Mentawai modern ini merasa lega terlepas dari budaya Arat Sabulungan.
Malu Karena Tidak 'Bulepak'
Protestan yang masuk ke Mentawai sejak 1901, menurut Urlik, merupakan agama yang paling keras melarang kepercayaan lama orang Mentawai dibanding Katolik yang masuk sejak 1955 dan Islam sejak 1952. Karena itu, Sipora dan Pagai yang mayoritas memeluk agama Protestan lebih cepat hilang kebudayaannya, termasuk tradisi tato.
"Saya masih ingat waktu kecil ada orang Mentawai bertato yang diusir dari jemaat oleh pendeta," kata Urlik yang juga pendeta GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai) Saurenuk, Sipora.
Untuk bisa menato diri, suatu suku di Sipora harus melakukan ‘punen' yang paling cepat menghabiskan waktu enam bulan. Punen dimulai dengan mendirikan uma (rumah adat khas Mentawai) dengan memotong sejumlah babi dan mengikuti berbagai pantangan. Di antaranya tidak boleh melakukan seks dengan istri, tidak boleh memandang wanita, tidak boleh makan dan minum sebelum acara makan dan minum bersama, dan sebagainya.
"Acara puncak punen adalah dengan melakukan perjalanan ke Pulau Siberut sebagai asal orang Mentawai, acara itu disebut ‘Bulepak', ke sana naik sampan sampai 40 orang, jika sudah kembali dengan selamat menempuh ombak yang besar dari Siberut dengan membawa manik-manik khas Siberut, maka semua warga suku sudah boleh menato diri," kata Urlik.
Upacara seperti inilah yang berat dilakukan orang Sipora. Menurut Urlik, acara ‘Bulepak' terakhir yang dilakuan orang Sipora pada 1950-an. Setelah itu tidak ada lagi orang Mentawai di Sipora yang melakukan itu. Akibatnya, mereka tidak berani menato diri, karena syaratnya tidak ada.
"Mereka malu menato diri karena tidak pernah ‘Bulepak', setelah itu tak ada lagi orang Sipora yang bertato, hal yang sama juga terjadi di Pagai," katanya.
Ditato Itu Sakit
Di Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai dan merupakan pusat dan asal kebudayaan Mentawai, masih ada sejumlah kampung pedalaman yang masih menggunakan tato. Di kampung-kampung di Sarereiket, Ugai, Matotonan, Madobak, Simatalu, Sakudei, dan Simalegi penduduknya masih memakai tato.
Meski di beberapa kampung para pemuda dan gadis yang mulai dewasa tetap ditato tubuhnya, namun yang meninggalkan tradisi tato jauh lebih banyak. Umumnya mereka yang sudah berinteraksi dengan dua modern, seperti melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA yang hanya terletak di ibukota kecamatan atau ke Padang.
"Umumnya kampung-kampung yang tradisi tatonya masih ada adalah yang menganut Katolik, sebab Katolik lebih longgar dan tidak sekeras Protestan melarang mereka, tetapi anak-anak muda yang bersekolah tak lagi mau ditato," kata Urlik.
Tradisi bertato memang mulai ditinggalkan di Mentawai, seiring dengan pangaruh dunia luar. Jika dulu orang yang bertato dianggap sebagai lambang orang yang sehat dan kuat di Mentawai, kini anggapan itu telah beralih sebagai orang yang terbelakang.
"Ditato itu sakit dan lagian lambang primitif," kata Gerson Saleleubaja, 24 tahun, pemuda asal Maileppet, Siberut Selatan, yang kini menjadi jurnalis di Tabloid Puailiggoubat, sebuah koran lokal di Mentawai.
Terlepas dari itu, sebenarnya tato tradisional Mentawai adalah khazanah dunia. Ady Rosa, peneliti tato Indonesia dari Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang, menyimpulkan bahwa tato Mentawai termasuk tato tertua di dunia.
Sayang, belum banyak yang meneliti jenis dan makna tato di Mentawai. Ady Rosa sendiri baru meneliti penggunaan tato pada orang Mentawai di sejumlah kampung di Siberut dan belum meneliti tato di Sipora dan Pagai. Padahal, menurut Urlik, tato Sipora dan Pagai memiliki perbedaan tertentu dari tato Siberut.
Misalnya, di Sipora ada tato tiga garis lengkung di pipi dan satu garis lurus dari dagu hingga leher. Tato-tato ini belum diteliti dan akan segera hilang karena pemakainya yang sudah uzur.
160 Motif Tato
Tato oleh orang Mentawai tak hanya berfungsi untuk keindahan tubuh, tetapi juga lambang yang menunjukkan posisi atau derajat orang yang memakainya.
Ady Rosa, peneliti tato dari Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang menyimpulkan, seni tato yang oleh orang Mentawai disebut ‘titi' mulai dikenal di Mentawai sejak orang Mentawai datang antara tahun 1500 sampai 500 Sebelum Masehi. Mereka adalah suku bangsa protomelayu yang datang dari Yunan, kemudian berbaur dengan budaya Dongson.
"Tato di Siberut sudah jauh sebelum bangsa Mesir mulai membuat tato sekitar tahun 1300 SM, jadi bukan tato Mesir yang tertua di dunia, tapi tato Mentawai," katanya.
Ady Rosa dalam laporan hasil penelitiannya berjudul ‘Fungsi dan Makna Tato Mentawai' (2000) menyimpulkan, ada tiga fungsi tato bagi orang Mentawai. Pertama, sebagai tanda kenal wilayah dan kesukuan yang tergambar lewat tato utama. Ini semacam kartu tanda penduduk (KTP).
Kedua, sebagai status sosial dan profesi. Motif yang digambarkan tato ini menjelaskan apa profesi si pemakai, misalnya sikerei (tabib dan dukun), pemburu binatang, atau orang awam. Ketiga, sebagai hiasan tubuh atau keindahan. Ini tergambar lewat mutu dan kekuatan ekspresi si pembuat tato (disebut ‘sipatiti') melalui gambar-gambar yang indah.
Menurt Ady, ada sekitar 160 motif tato yang ada di Siberut. Masing-masing berbeda satu sama lain. Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai belasan tato di sekujur tubuhnya.
Pembuatan tato sendiri melewati proses ritual, karena bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan (keparcayaan kepada roh-roh). Bahan-bahan dan alat yang digunakan didapat dari alam sekitarnya. Hanya jarum yang digunakan untuk perajah yang merupakan besi dari luar. Sebelum ada jarum, alat pentatotan yang dipakai adalah sejenis kayu karai, tumbuhan asli Mentawai, yang bagian ujungnya diruncingkan.
Sipatiti (pembuat tato) adalah seorang lelaki dan tidak boleh perempuan. Sebelum pembuatan tato harus diadakan ‘punen patiti' (upacara pentatoan). Upacara dipimpin oleh seorang sikerei. Upacara yang dilakukan dengan menyembelih beberapa ekor babi ini harus dibiayai oleh orang yang ditato dan hanya dilakukan pada awal pentatoan.
Membuat tato di Mentawai dilakukan tiga tahap. Tahap pertama pada saat seseorang berusia 11-12 tahun, dilakukan pentatoan di bagian pangkal lengan. Tahap kedua usia 18-19 tahun dengan menato bagian paha. Tahap ketiga setelah dewasa.
Proses pembuatan tato memakan waktu dan diulang-ulang. Tentu saja menimbulkan rasa sakit dan bahkan menyebabkan demam.
Read More..
Read more...